Baturaja,Beritanusantara.news – Persoalan lemahnya jaringan telekomunikasi yang dikeluhkan masyarakat Kecamatan Sungai Are, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), menjadi sorotan serius kalangan akademisi. Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Baturaja, Yahnu Wiguno Sanyoto, menilai gangguan sinyal yang sudah berlangsung beberapa waktu terakhir tidak bisa dianggap masalah kecil, karena menyangkut hak dasar masyarakat atas akses layanan publik.
.
Ia juga tidak menutup mata bahwa Sungai Are saat ini menghadapi sejumlah kondisi khas perbatasan. Pertama, akses transportasi terbatas: jalan yang menghubungkan kecamatan ini dengan pusat kabupaten atau bahkan dengan provinsi tetangga kerap terputus saat musim hujan atau akibat longsor. Kondisi ini menjadikan mobilitas warga terhambat, baik untuk urusan ekonomi maupun layanan dasar. Kedua, keterhubungan layanan publik masih tertinggal. Akses ke fasilitas pendidikan, kesehatan, maupun layanan administrasi publik tidak semudah di daerah perkotaan. Warga seringkali harus menempuh jarak jauh dengan kondisi jalan sulit hanya untuk mendapatkan pelayanan dasar.
.
Ketiga, wilayah ini rawan isolasi saat bencana. Sungai Are termasuk kawasan rawan longsor dan banjir, sehingga dalam kondisi tertentu masyarakat benar-benar terputus dari akses luar. Situasi ini diperparah ketika jaringan komunikasi melemah atau hilang sama sekali, sehingga warga kesulitan mengakses informasi maupun bantuan darurat, dan keempat, Sungai Are memiliki ketergantungan ekonomi lintas batas. Sebagai wilayah yang berdekatan dengan Kabupaten Kaur (Bengkulu), interaksi ekonomi masyarakat lintas daerah tak terelakkan. Namun, ketidakpastian infrastruktur transportasi dan telekomunikasi membuat potensi ekonomi lintas daerah ini tidak berkembang optimal.
.
Dalam konteks inilah, lemahnya jaringan komunikasi di Sungai Are harus dipahami sebagai bagian dari kesenjangan pembangunan di wilayah perbatasan antardaerah. Pemerintah daerah, provinsi, dan pusat tidak boleh bekerja parsial. Diperlukan pendekatan multi-level governance yang melibatkan pemerintah daerah, operator telekomunikasi, dan masyarakat, dengan memastikan ada keberpihakan khusus terhadap wilayah perbatasan.
.
“Telekomunikasi hari ini sudah menjadi kebutuhan pokok. Ketika sinyal hilang, warga bukan hanya kesulitan berkomunikasi dengan keluarga, tetapi juga terhambat dalam aktivitas ekonomi, pendidikan, hingga akses layanan darurat. Artinya, persoalan jaringan di Sungai Are bukan sekadar kendala teknis, tetapi sudah mengganggu kualitas hidup masyarakat,” tegas Yahnu ketika dihubungi media Beritanusantara.news, Senin (08/10/2025).
.
Menurutnya, kondisi tersebut mencerminkan masih lebarnya kesenjangan digital (digital divide) antara wilayah perkotaan dengan daerah perbatasan atau terpencil. Sementara pembangunan nasional selalu digaungkan dengan jargon pemerataan, kenyataan di lapangan justru masih menunjukkan banyak wilayah yang tertinggal dalam hal infrastruktur komunikasi.
.
“Pemerintah daerah, pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan juga pihak operator harus lebih serius melihat masalah ini. Jangan hanya fokus pada wilayah padat penduduk dan menguntungkan secara bisnis. Di daerah sulit seperti Sungai Are, operator juga harus menjalankan tanggung jawab sosialnya. Ini bisa dilakukan dengan model insentif kebijakan, penugasan khusus, atau program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR),” lanjutnya.
.
Yahnu, yang juga merupakan Ketua Bidang Eksternal Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) Koordinator Wilayah Sumatera menilai, langkah konkret yang perlu segera dilakukan adalah pemetaan titik-titik blank spot di wilayah Sungai Are, disertai audit teknis penyebab gangguan. Hasil pemetaan ini harus menjadi dasar bagi pemerintah dan operator dalam merumuskan rencana perbaikan jaringan yang jelas, terukur, dan transparan. “Masyarakat berhak mengetahui sampai sejauh mana upaya perbaikan dilakukan, siapa yang bertanggung jawab, dan kapan target normalisasi jaringan bisa dicapai,” tambahnya.
.
Lebih jauh, Yahnu juga menekankan pentingnya peran DPRD dan pemerintah daerah untuk mengawal persoalan ini. Menurutnya, sebagai wakil rakyat, DPRD seharusnya aktif menyuarakan aspirasi warga dan mendesak operator maupun instansi terkait agar tidak menunda penyelesaian masalah jaringan. “Jangan sampai warga dibiarkan menunggu terlalu lama tanpa kepastian. Apalagi, dampaknya sudah nyata terhadap ekonomi warga yang kini banyak mengandalkan aktivitas digital,” ujarnya.
.
Ia mencontohkan, banyak pelaku usaha kecil di daerah perbatasan yang bergantung pada jaringan internet untuk memasarkan produk, bertransaksi, atau berkomunikasi dengan pelanggan. Ketika jaringan terganggu, peluang usaha mereka langsung terhambat. Hal ini, kata Yahnu, jelas bertentangan dengan semangat pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis digital.
.
Menurut salah satu warga Sungai Are yang bernama Arif ( 38 ) saat di wawancarai oleh media Beritanusantara.news, mengatakan ” Sinyal internet sudah cukup baik, tapi dengan seiring bertambahnya kepadatan pengguna internet, kecepatan internet menurun. Perlu peningkatan tekhnologi terbaru pada menara telekomunikasi (BTS),” ujar Arif
.
“Kalau kita bicara pembangunan sumber daya manusia, pendidikan berbasis daring, layanan publik digital, semua itu tidak akan berjalan tanpa jaringan telekomunikasi yang stabil. Karena itu, menghadirkan layanan jaringan yang merata harus ditempatkan sebagai prioritas pembangunan,” tegasnya lagi.
.
Sebagai penutup, Yahnu mengingatkan bahwa persoalan telekomunikasi di Sungai Are tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia menegaskan, pembangunan bukan hanya soal jalan, listrik, atau fisik semata, tetapi juga soal keterhubungan digital yang kini menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat modern.
.
“Daerah seperti Sungai Are memiliki hak yang sama untuk merasakan manfaat pembangunan. Pemerintah dan operator harus bergerak cepat, karena keadilan layanan publik tidak boleh berhenti di kota-kota besar saja. Wilayah perbatasan juga harus mendapat perhatian yang layak,” pungkasnya. (Yunie)